Sabtu, 15 November 2014

'Kakak yang Tidak Pernah Tersenyum'

Pernah kah kamu melihat atau mengenal seseorang yang tidak pernah tersenyum? Saya pernah. Apakah kamu tertarik untuk mengetahui sebabnya mengapa ia seperti itu?

September 2013

Hari itu, di depan ruang dekan, saya dan beberapa teman kelas duduk di sana. Menunggu dosen penasehat akademik masing-masing, untuk meminta tanda tangan di lembaran KRS.

Dan itulah kali pertama saya melihatnya. Sepuluh meter di hadapan saya. Seorang laki-laki yang usianya beberapa tahun lebih tua dari saya. Dengan kemeja hitam dan sebuah tas ransel hitam. Duduk bersama teman-temannya. Entah apa yang menarik penglihatan saya untuk terus memperhatikannya.

Ada sesuatu dalam dirinya, yang sangat berbeda dengan yang lainnya. Tapi apa ya?

Setengah jam berlalu, dan saya masih konsisten dengan objek yang saya amati, mengidentifikasi perbedaan apa yang dimiliki oleh kakak ini. Silih berganti, teman-temannya datang menghampirinya. Baik itu sekedar menyapa, atau bahkan duduk bercerita disampingnya. 

Dan akhirnya, saya mengerti, apa yang mengganjal sedari tadi. Kakak ini terlihat berbeda, karena wajah nya yang senantiasa tertekuk. Tanpa senyum sama sekali.

Kakak itu kenapa ya? Sakit gigi?

Tak tahan penasaran sendirian, maka saya berbisik ke dua teman dekat saya, yang selalu duduk disamping saya. Mika dan Jian.

“Eh coba lihat kakak yang itu” ucap saya sambil menunjuk ke arah sekumpulan kakak senior laki-laki.  Mika dan Jian menyipitkan matanya, mencari-cari.

“Yang kemeja hitam? Yang tampak murung?” Jian menaggapi. Nah. Tepat!

Kami mengamati bersama. Tiba-tiba, sekumpulan kakak senior di luar tertawa heboh sekali. Barangkali ada yang jatuh, atau ada yang kesandung, atau apalah, yang jelas semua yang berada disitu tertawa keras sekali.

Namun, apa yang kami lihat? Kakak yang tidak pernah tersenyum itu sama sekali tidak bergeming. Jangankan tertawa, tersenyum saja tidak. Kakak itu kenapa ya? Apakah sedang dalam masalah berat? Atau memang benar-benar sakit gigi?


 Dan selanjutnya, dalam beberapa kesempatan, kami masih sering melihatnya dengan wajahnya yang masih tanpa senyum. Kami pun menyebutnya “kakak yang tidak pernah tersenyum”

Januari 2014

Saya berjalan terburu-buru keluar dari ruangan Ketua Jurusan Kesmas, dan tanpa sengaja saya hampir menabrak seseorang. Saya terkejut dan segera menoleh untuk meminta maaf kepada orang tersebut, dan ternyata, orang yang saya tabrak itu ialah ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’.

Jika ini sinetron murahan, maka yang terjadi ialah : saya menabraknya, buku-buku yang saya bawa  berjatuhan, lalu kami sama-sama berjongkok untuk memungutinya, lalu bertatapan. Huekks -,- Namun kenyataannya, ini bukan sinetron, Sehingga yang terjadi ialah : saya hampir menabraknya, saya meminta maaf, dan ia melirik saya sekilas dengan wajah tanpa senyumnya, kemudian berlalu begitu saja. Masya Allah -___- salah saya apa pemirsa? (T.T)

Agustus 2014

Semester berganti, dan saya telah menjadi mahasiswi tingkat dua! ^^

Dalam sebuah mata kuliah,  saya ternyata sekelas sama ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’ itu. Wah, keajaiban kah? Maka, saya, Mika dan Jian pun sibuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika kami berhasil berteman dengannya. Mungkin kami akan mengetahui apa yang terjadi padanya. Apakah ia sebenarnya orang yang cerewet? Apakah mungkin ia hanya ber-ackting murung? Ataukah ia memang tidak suka tersenyum? Apakah memang ternyata ia benar-benar sakit gigi selama berbulan-bulan? -____-

Ia duduk di bangku terdepan, bersama beberapa senior laki-laki lainnya. Saat itu absen tetap untuk kelas kami belum dicetak. Yah, namanya juga awal perkuliahan. Maka dosen mengedarkan sebuah kertas untuk diisi oleh mahasiswa dengan nama, stambuk, dan tanda tangannya. Semacam absen berjalan. Dari bangku depan, sampai bangku belakang. Bukankah itu berarti kami bisa mengetahui namanya?

Ketika kertas absen itu tiba di hadapan kami, kami bertiga langsung berebutan melihatnya. Menghitung urutan tempat duduknya.

“Satu..dua..tiga..empat..lima..ENAM! Nama ke-enam!! Cepat lihat nama ke-enam!!” seru Mika tidak sabaran

“Ke enam.. ke enam.. ini!! Bayu Hendrawan!!” seru saya dan Jian bersamaan. Lalu kami tersadar. Sttttttt…jangan terlalu heboh. Nanti ada yang salah paham. Lalu kami tertawa cekikikan.

September 2014

Dalam mata kuliah kali ini, kelas kami menggunakan metode diskusi per kelompok. Kebetulan, teman-teman saya menunjuk saya sebagai presenter yang membawakan materi kelompok, di depan kelas.

Saya berdiri di depan kelas. Sambil memaparkan materi, mata saya menyapu seluruh sudut kelas, dan saya mendapatinya! ‘Kakak yang tidak pernah tersenyum’. Duduk di bangku belakang, mendengarkan pemaparan materi saya dengan wajah yang datar. Tanpa senyum. Seperti biasa.

Saat sesi Tanya jawab dibuka,, teman-teman sekelas berlomba-lomba mengacungkan tangan untuk bertanya. Tanpa sadar, saya bahkan berharap kakak itu termasuk salah satu dari mereka yang mengacungkan tangan.

Namun pada kenyataannya, sampai diskusi berakhir, kakak itu tidak bergeming sama sekali. Disini, ada dua kemungkinan.

Pertama, materi yang saya bawakan sama sekali tidak menarik baginya, sehingga ia sama sekali tidak berniat mengomentarinya.

Kedua, pemaparan saya sudah sangat sempurna baginya sehingga ia merasa tidak ada yang perlu di komentari lagi.

(Pemirsa, mari kita anggap bahwa kemungkinan kedua lah yang benar, untuk menyenangkan hati saya. Terimakasih -___-)


Oktober 2014

Saya melihat kakak yang tidak pernah tersenyum menaiki tangga kampus FKM. Saya segera mencegatnya.

“Maaf kak. Kakak memprogram mata kuliah X di kelas saya kan kak?” Tanya saya. Hari itu, saya ditugaskan oleh dosen untuk mengumpulkan tugas teman-teman sekelas dalam bentuk file.

Kakak itu mengangguk mendengar pertanyaan saya. Ya, hanya mengangguk.

“Ibu menyuruh saya untuk mengumpulkan file tugas makalah kemarin kak. Kakak bawa filenya?” lanjut saya

“Iya” jawabnya singkat, nyaris tak terdengar. Maka saya segera mencari laptop untuk menyalin file tugas tersebut. File berpindah, saya mengembalikan flashdisknya, lalu ia pun pergi.

          Itulah percakapan pertama saya dengannya. Walaupun jawabannya hanya satu kata, adegan ini masih bisa disebut percakapan bukan? :D

***
Dipenghujung bulan ini, bapak dosen membagi kelompok untuk mengerjakan tugas. Dan entah mengapa, saya kebetulan sekelompok dengan kakak itu. Awalnya, Mika dan Jian menertawakan kebetulan itu. 

Saya hanya bisa berdalih : “siapa tahu dengan berkelompok dengannya, saya jadi bisa berteman dengannya?”

Saat kuliah selesai, dan saat kami keluar kelas, kami berpapasan dengannya. Tiba-tiba terbesit di pikiran saya untuk memulai komunikasi dengannya.

“Kak Bayu..” panggil saya

Namun apa yang terjadi? Ia tetap berjalan lurus tanpa memedulikan sapaan yang saya berikan dengan tulus dan cukup mengorbankan harga diri. Seketika Mika dan Jian tertawa puas sekali, dan saya jadi keki sendiri. Pernah kah kamu merasakan hal semacam itu? Rasanya ingin panjat tiang bendera di halaman rektorat, lalu berkibar di atasnya (T.T)

Tapi, tunggu dulu. Mungkin kakak itu tidak mendengar sapaan saya tadi. Atau mungkin sedang banyak pikiran. Atau sedang kebelet. Atau sedang buru-buru karena kucingnya di rumah akan segera melahirkan. Atau alasan lain,, saya mencoba untuk berpositif thinking J
***

Beberapa hari kemudian, saya mencoba mengirim pesan singkat padanya (SMS), untuk membahas tugas kelompok.

Assalamualaikum. Kak Bayu?”

Satu jam, dua jam, tiga jam. Tidak dibalas. Mungkin ia tidak suka basa-basi. Saya mengirim SMS lagi.

Kak, sy sekelompok sm kakak untuk tugas X. Lalu bagaimana kak?”

Tidak dibalas juga. Lalu saya mengerjakan tugas tersebut tanpa campur tangan kakak itu. Mungkin ia sibuk…
***

          Keesokan harinya, di depan kelas, saya melihatnya sedang duduk membelakangi saya, bersama Kak Aldi, salah seorang senior yang juga merupakan teman kak Bayu itu.

          Saya memperhatikan kakak itu dari belakang, dan Kak Aldi melihat saya dan bertanya ada apa dengan saya?

Saya menunjuk-nunjuk Kak Bayu, berniat menceritakan apa yang saya alami pada Kak Aldi. Namun entah karena sengaja atau memang tidak paham maksud saya,, ia malah memanggil Kak Bayu, hingga kakak itu menoleh pada saya.

          Jleb. Saya tertangkap basah. Sambil mendongkol dalam hati karena tindakan kak Aldi barusan, saya pun bertanya pada ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’ itu.

“Kenapa kakak tidak balas SMS saya kemarin?” Tanya saya takut-takut

“Oh, lagi tidak ada pulsa” jawabnya singkat. Sudah. Begitu saja~

Dan itulah percakapan kedua saya dengannya.

November 2014

Hari ini saya duduk di kelas, sambil menatap layar ponsel saya. Sebuah pesan singkat dari ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’.

Isinya singkat saja. Menanyakan jadwal kuliah. Saya terdiam beberapa saat.

Apa yang saya pikirkan?

Pertama, kakak itu menyimpan nomor HP saya. Ini merupakan sebuah apresiasi bagi saya. Asik :D

Kedua, ia percaya pada saya. Buktinya, ia menanyakan jadwal kuliah. Padahal bisa saja saya mengatakan bahwa kuliahnya di pindahkan jam 7 pagi, di gedung rektorat sambil upacara, kan? -__-
***

Dan kisah ini masih akan terus berlanjut, selama saya masih belajar di FKM UHO, dan selama kakak itu tidak memutuskan untuk berintegrasi ke fakultas lain.

Inti dari kisah ini ialah : Seperti halnya makalah, setiap masalah pun punya latar belakang. Kakak itu pasti punya alasan mengapa ia tidak pernah tersenyum. Dan kita tidak bisa menilai seseorang hanya dengan mengandalkan penglihatan kita. Untuk sampai pada suatu kesimpulan pun harus dengan observasi atau pengamatan yang dilakukan secara terus menerus. Itu pun tidak bisa menjamin bahwa kesimpulan kita itu seratus persen benar.

Kakak itu memang tidak pernah tersenyum, namun bukan berarti ia tidak bahagia. Tidak selamanya orang yang tidak tersenyum itu karena ia tidak bahagia Begitu pula dengan orang yang senantiasa tersenyum ceria. Tidak selamanya ia tersenyum karena ia bahagia. Bisa saja ia memendam seluruh kesedihannya, dan menyembunyikannya di balik senyum nya. Iya kan? J

Semoga kita dapat mengambil sedikit pelajaran dari kisah ini. Terima kasih sudah membaca J



20 komentar:

  1. tulisan kamu bagus dan ceritanya tdk bosan untuk dibaca sampai selesai... kamu sangat berbakat untk jadi petinju!! lanjutkan!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahahah petinju? loh..kok tauuu,, itukan bakat terpendam saya :D

      Hapus
    2. yah.. tau lah...saya kan org yg selalu mengamati, menjaga, melindungi dan Mengayomi mu stiap hari meskpun kamu tak prnah tau!!

      Hapus
    3. wah,, jangan2 kamu mamah saya? ini mamah ya? wah mamah nge-blog juga? :D

      Hapus
    4. mamah kamu?? yah.. bkan lah.. aku hnya seorang mahasiswa yg kesepian!

      Hapus
    5. hehe,, eh anak UHO jg ya? fakultas apa?

      Hapus
    6. iye.. anak FKIP prodi Geografi angktan 011. IPK smntara ku 3.0!!

      Hapus
  2. Tidak setiap momen terjadi dua kali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makanya harus diabadikan hehe :)

      Hapus
    2. Hahaha iya biar gak jadi abu gosok yang hilang di tiup angin #sedap bahasa gue

      Hapus
    3. yayayaya kalo kata kevin sih #azek :D

      Hapus
  3. ceritanya bagus, tpi masukan dari sya,, ceritanya di tmbahkan adegan yg lucu2 spya tdk bosan untk dibaca sampai akhir!!

    BalasHapus
  4. Boleh aku tertawa? Hahahaha. Ternyata ada yang tidak jelas di kisah itu! :D

    BalasHapus