Pernah kah kamu melihat atau mengenal seseorang yang tidak
pernah tersenyum? Saya pernah. Apakah kamu tertarik untuk mengetahui sebabnya
mengapa ia seperti itu?
September
2013
Hari itu, di depan ruang dekan, saya dan
beberapa teman kelas duduk di sana. Menunggu dosen penasehat akademik
masing-masing, untuk meminta tanda tangan di lembaran KRS.
Dan itulah kali
pertama saya melihatnya. Sepuluh meter di hadapan saya. Seorang laki-laki yang
usianya beberapa tahun lebih tua dari saya. Dengan kemeja hitam dan sebuah tas
ransel hitam. Duduk bersama teman-temannya. Entah apa yang menarik penglihatan
saya untuk terus memperhatikannya.
Ada sesuatu dalam dirinya, yang sangat
berbeda dengan yang lainnya. Tapi apa ya?
Setengah jam berlalu, dan saya masih
konsisten dengan objek yang saya amati, mengidentifikasi perbedaan apa yang
dimiliki oleh kakak ini. Silih berganti, teman-temannya datang menghampirinya.
Baik itu sekedar menyapa, atau bahkan duduk bercerita disampingnya.
Dan
akhirnya, saya mengerti, apa yang mengganjal sedari tadi. Kakak ini terlihat
berbeda, karena wajah nya yang senantiasa tertekuk. Tanpa senyum sama sekali.
Kakak itu kenapa ya? Sakit gigi?
Tak tahan penasaran sendirian, maka saya
berbisik ke dua teman dekat saya, yang selalu duduk disamping saya. Mika dan
Jian.
“Eh coba lihat kakak yang itu” ucap saya
sambil menunjuk ke arah sekumpulan kakak senior laki-laki. Mika dan Jian menyipitkan matanya,
mencari-cari.
“Yang kemeja hitam? Yang tampak murung?” Jian
menaggapi. Nah. Tepat!
Kami mengamati bersama. Tiba-tiba, sekumpulan
kakak senior di luar tertawa heboh sekali. Barangkali ada yang jatuh, atau ada
yang kesandung, atau apalah, yang jelas semua yang berada disitu tertawa keras
sekali.
Namun, apa yang kami lihat? Kakak yang tidak
pernah tersenyum itu sama sekali tidak bergeming. Jangankan tertawa, tersenyum
saja tidak. Kakak itu kenapa ya? Apakah sedang dalam masalah berat? Atau memang benar-benar sakit gigi?
Dan selanjutnya, dalam beberapa kesempatan, kami masih
sering melihatnya dengan wajahnya yang masih tanpa senyum. Kami pun menyebutnya “kakak yang tidak pernah tersenyum”
Januari 2014
Saya berjalan terburu-buru keluar dari
ruangan Ketua Jurusan Kesmas, dan tanpa sengaja saya hampir menabrak seseorang.
Saya terkejut dan segera menoleh untuk meminta maaf kepada orang tersebut, dan
ternyata, orang yang saya tabrak itu ialah ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’.
Jika ini sinetron murahan, maka yang terjadi
ialah : saya menabraknya, buku-buku yang saya bawa berjatuhan, lalu kami sama-sama berjongkok
untuk memungutinya, lalu bertatapan. Huekks -,- Namun kenyataannya, ini bukan
sinetron, Sehingga yang terjadi ialah : saya hampir menabraknya, saya meminta
maaf, dan ia melirik saya sekilas dengan wajah tanpa senyumnya, kemudian
berlalu begitu saja. Masya Allah -___- salah saya apa pemirsa? (T.T)
Agustus
2014
Semester berganti, dan saya telah menjadi mahasiswi tingkat
dua! ^^
Dalam sebuah mata kuliah, saya ternyata sekelas sama ‘kakak yang tidak
pernah tersenyum’ itu. Wah, keajaiban kah? Maka, saya, Mika dan Jian pun sibuk
membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika kami berhasil berteman dengannya. Mungkin
kami akan mengetahui apa yang terjadi padanya. Apakah ia sebenarnya orang yang
cerewet? Apakah mungkin ia hanya ber-ackting murung? Ataukah ia memang tidak
suka tersenyum? Apakah memang ternyata ia benar-benar sakit gigi selama
berbulan-bulan? -____-
Ia duduk di bangku terdepan, bersama beberapa
senior laki-laki lainnya. Saat itu absen tetap untuk kelas kami belum dicetak.
Yah, namanya juga awal perkuliahan. Maka dosen mengedarkan sebuah kertas untuk
diisi oleh mahasiswa dengan nama, stambuk, dan tanda tangannya. Semacam absen
berjalan. Dari bangku depan, sampai bangku belakang. Bukankah itu berarti kami
bisa mengetahui namanya?
Ketika kertas absen itu tiba di hadapan kami,
kami bertiga langsung berebutan melihatnya. Menghitung urutan tempat duduknya.
“Satu..dua..tiga..empat..lima..ENAM! Nama
ke-enam!! Cepat lihat nama ke-enam!!” seru Mika tidak sabaran
“Ke enam.. ke enam.. ini!! Bayu Hendrawan!!”
seru saya dan Jian bersamaan. Lalu kami tersadar. Sttttttt…jangan terlalu
heboh. Nanti ada yang salah paham. Lalu kami tertawa cekikikan.
September
2014
Dalam mata kuliah kali ini, kelas kami
menggunakan metode diskusi per kelompok. Kebetulan, teman-teman saya menunjuk
saya sebagai presenter yang membawakan materi kelompok, di depan kelas.
Saya berdiri di depan kelas. Sambil
memaparkan materi, mata saya menyapu seluruh sudut kelas, dan saya
mendapatinya! ‘Kakak yang tidak pernah tersenyum’. Duduk di bangku belakang,
mendengarkan pemaparan materi saya dengan wajah yang datar. Tanpa senyum.
Seperti biasa.
Saat sesi Tanya jawab dibuka,, teman-teman
sekelas berlomba-lomba mengacungkan tangan untuk bertanya. Tanpa sadar, saya
bahkan berharap kakak itu termasuk salah satu dari mereka yang mengacungkan
tangan.
Namun pada kenyataannya, sampai diskusi
berakhir, kakak itu tidak bergeming sama sekali. Disini, ada dua kemungkinan.
Pertama, materi yang saya bawakan sama sekali
tidak menarik baginya, sehingga ia sama sekali tidak berniat mengomentarinya.
Kedua, pemaparan saya sudah sangat sempurna
baginya sehingga ia merasa tidak ada yang perlu di komentari lagi.
(Pemirsa, mari kita anggap bahwa kemungkinan
kedua lah yang benar, untuk menyenangkan hati saya. Terimakasih -___-)
Oktober
2014
Saya melihat kakak yang tidak pernah
tersenyum menaiki tangga kampus FKM. Saya segera mencegatnya.
“Maaf kak. Kakak memprogram mata kuliah X di
kelas saya kan kak?” Tanya saya. Hari itu, saya ditugaskan oleh dosen untuk
mengumpulkan tugas teman-teman sekelas dalam bentuk file.
Kakak itu mengangguk mendengar pertanyaan
saya. Ya, hanya mengangguk.
“Ibu menyuruh saya untuk mengumpulkan file
tugas makalah kemarin kak. Kakak bawa filenya?” lanjut saya
“Iya” jawabnya singkat, nyaris tak terdengar.
Maka saya segera mencari laptop untuk menyalin file tugas tersebut. File
berpindah, saya mengembalikan flashdisknya, lalu ia pun pergi.
Itulah
percakapan pertama saya dengannya. Walaupun jawabannya hanya satu kata, adegan
ini masih bisa disebut percakapan bukan? :D
***
Dipenghujung
bulan ini, bapak dosen membagi kelompok untuk mengerjakan tugas. Dan entah
mengapa, saya kebetulan sekelompok dengan kakak itu. Awalnya, Mika dan Jian
menertawakan kebetulan itu.
Saya hanya bisa berdalih : “siapa tahu dengan
berkelompok dengannya, saya jadi bisa berteman dengannya?”
Saat
kuliah selesai, dan saat kami keluar kelas, kami berpapasan dengannya.
Tiba-tiba terbesit di pikiran saya untuk memulai komunikasi dengannya.
“Kak Bayu..”
panggil saya
Namun apa
yang terjadi? Ia tetap berjalan lurus tanpa memedulikan sapaan yang saya
berikan dengan tulus dan cukup mengorbankan harga diri. Seketika Mika dan Jian
tertawa puas sekali, dan saya jadi keki sendiri. Pernah kah kamu merasakan hal
semacam itu? Rasanya ingin panjat tiang bendera di halaman rektorat, lalu
berkibar di atasnya (T.T)
Tapi,
tunggu dulu. Mungkin kakak itu tidak mendengar sapaan saya tadi. Atau mungkin
sedang banyak pikiran. Atau sedang kebelet. Atau sedang buru-buru karena
kucingnya di rumah akan segera melahirkan. Atau alasan lain,, saya mencoba
untuk berpositif thinking J
***
Beberapa hari
kemudian, saya mencoba mengirim pesan singkat padanya (SMS), untuk membahas
tugas kelompok.
“Assalamualaikum.
Kak Bayu?”
Satu jam,
dua jam, tiga jam. Tidak dibalas. Mungkin ia tidak suka basa-basi. Saya mengirim
SMS lagi.
“Kak, sy sekelompok sm kakak untuk
tugas X. Lalu bagaimana kak?”
Tidak dibalas
juga. Lalu saya mengerjakan tugas tersebut tanpa campur tangan kakak itu. Mungkin ia sibuk…
***
Keesokan harinya,
di depan kelas, saya melihatnya sedang duduk membelakangi saya, bersama Kak
Aldi, salah seorang senior yang juga merupakan teman kak Bayu itu.
Saya
memperhatikan kakak itu dari belakang, dan Kak Aldi melihat saya dan bertanya
ada apa dengan saya?
Saya menunjuk-nunjuk Kak Bayu, berniat
menceritakan apa yang saya alami pada Kak Aldi. Namun entah karena sengaja atau
memang tidak paham maksud saya,, ia malah memanggil Kak Bayu, hingga kakak itu
menoleh pada saya.
Jleb. Saya tertangkap
basah. Sambil mendongkol dalam hati karena tindakan kak Aldi barusan, saya pun
bertanya pada ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’ itu.
“Kenapa kakak tidak balas SMS saya kemarin?” Tanya
saya takut-takut
“Oh, lagi tidak ada pulsa” jawabnya singkat. Sudah.
Begitu saja~
Dan itulah percakapan kedua saya dengannya.
November
2014
Hari ini saya duduk di kelas, sambil menatap layar
ponsel saya. Sebuah pesan singkat dari ‘kakak yang tidak pernah tersenyum’.
Isinya singkat saja. Menanyakan jadwal
kuliah. Saya terdiam beberapa saat.
Apa yang saya pikirkan?
Pertama, kakak itu menyimpan nomor HP saya. Ini
merupakan sebuah apresiasi bagi saya. Asik :D
Kedua, ia percaya pada saya. Buktinya, ia
menanyakan jadwal kuliah. Padahal bisa saja saya mengatakan bahwa kuliahnya di
pindahkan jam 7 pagi, di gedung rektorat sambil upacara, kan? -__-
***
Dan kisah
ini masih akan terus berlanjut, selama saya masih belajar di FKM UHO, dan
selama kakak itu tidak memutuskan untuk berintegrasi ke fakultas lain.
Inti dari
kisah ini ialah : Seperti halnya makalah, setiap masalah pun punya latar
belakang. Kakak itu pasti punya alasan mengapa ia tidak pernah tersenyum. Dan kita
tidak bisa menilai seseorang hanya dengan mengandalkan penglihatan kita. Untuk sampai
pada suatu kesimpulan pun harus dengan observasi atau pengamatan yang dilakukan
secara terus menerus. Itu pun tidak bisa menjamin bahwa kesimpulan kita itu seratus
persen benar.
Kakak itu
memang tidak pernah tersenyum, namun bukan berarti ia tidak bahagia. Tidak selamanya
orang yang tidak tersenyum itu karena ia tidak bahagia Begitu pula dengan orang
yang senantiasa tersenyum ceria. Tidak selamanya ia tersenyum karena ia
bahagia. Bisa saja ia memendam seluruh kesedihannya, dan menyembunyikannya di
balik senyum nya. Iya kan? J
Semoga kita
dapat mengambil sedikit pelajaran dari kisah ini. Terima kasih sudah membaca J